Ayahku sering menamparku,
Sakit? Tidak.
Mungkin karena terlalu sering? sesering aku melakukan kesalahan.
Atau mungkin karena aku selalu tidak perduli dengan tamparannya, dulu.
Sakit? Tidak.
Mungkin karena terlalu sering? sesering aku melakukan kesalahan.
Atau mungkin karena aku selalu tidak perduli dengan tamparannya, dulu.
Ayahku adalah pribadi disiplin dalam setiap peraturan tak tertulis
yang ia buat, suka menggoda yang sering
membuat kami selalu merasa jengkel pada level
akhir, keras kepala yang membuat mamaku sering menyerah untuk memusuhi opininya, Sederhana
terbukti dengan baju sehari-harinya tak pernah lepas dari merk terkenal
bertuliskan semen gresik, FLEXI, bahkan baju kampanye pun ia gunakan
sehari-hari tanpa memandang gengsi.
Mungkin karena aku perempuan satu-satunya setelah mamaku di keluarga jadi Aku merasa menjadi
orang yang paling dekat dengannya
daripada 2 saudaraku yang lain. Atau aku yang hanya ge’er? Peduli apa? Dia
ayahku. Aku mencintainya, dia mencintaiku.
Tibalah dimana hari penamparan itu terjadi,
Waktu itu hari minggu dimana kebiasaanku, ayah dan mama jalan pagi.
Sepulang jalan pagi kami selalu terbiasa bersantai di teras pekarangan sambil menunggu sarapan siap.
Tidak suka dengan suasana sengang, aku bertanya
Waktu itu hari minggu dimana kebiasaanku, ayah dan mama jalan pagi.
Sepulang jalan pagi kami selalu terbiasa bersantai di teras pekarangan sambil menunggu sarapan siap.
Tidak suka dengan suasana sengang, aku bertanya
“Ilham belom bangun tah yah?”
“Ndak tau ya.. biasanya habis sholat dia tidur lagi.. biarin
wes capek paling kemaren abis maen bulu tangkis seharian..” ayah berkata sambil
memijat betisnya.
“Oh iya yah, yayah kok udah lama gak maen badminton? Dulu
kan biasanya setiap malem..”
“...” “Ya udah gak kuat.. yayah kan udah tua..”
PLAK !
Tamparan itu seperti membangunkan dari ketidaksadaranku
selama ini.
Ayahku sudah tua? Aku seperti tidak bisa menerimanya.
Ayahku sudah tua? Aku seperti tidak bisa menerimanya.
Aku melihat rambut ayahku yang 2 tahun lalu masih aku cabut
rambut putihnya satu persatu, yang ia bilang terlihat lebih tua, bisa
mengurangi penampilannya.
sekarang sudah tidak mungkin dicabut satu-persatu lagi.
sekarang sudah tidak mungkin dicabut satu-persatu lagi.
Aku seolah baru sadar, ayahku sudah tidak bisa menggendongku
di pundaknya, tidak bisa mengangkatku dari ruang tv ke kamar tidur seperti
dulu, tidak bisa membaca al-quran kantongku yang katanya tulisannya sangat
kecil.
Kali ini, Tamparan ayahku bisa aku rasakan.
Benar-benar bisa akau rasakan.
Sakit? Tidak.
Karena ia tidak pernah menggunakan tangannya untuk menamparku.
0 komentar:
Posting Komentar